4/27/2008

belajar dari majapahit

Dalam sejarah bangsa Indonesia Majapahit memanglah ‘hanya’ satu di antara banyak negara (kerajaan maupun kesultanan) yang pernah berkembang di dalam tubuh bangsa persatuan yang kini disebut “Indonesia” ini. Walaupun demikian sejarahnya patut disimak dengan cermat karena kelebihannya: cakupan teritorialnya yang paling ekstensif, durasinya yang cukup panjang, serta pancapaian-pencapaian budayanya yang cukup bermakna.


Pembangunan Imperium

Diawali dengan rintisan di masa Singhasari, yaitu masa Pra Majapahit yang mempunyai kesinambungan dinastik dengan masa Majapahit, pembangunan imperium dilanjutkan dengan mencakup daerah-daerah yang lebih luas. Pada masa Singhasari yang cukup pendek itu ‘negara-negara’ yang disatukan di bawah koordinasi kewenangan Singhasari adalah: Madhura, Lamajang, Kadiri, Wurawan, Morono, Hring, dan Lwa, semua mengacu pada daerah-daerah di pulau Jawa (timur ) dan Madura. Itu rupanya yang bertahan (dan mungkin berkembang) di masa Majapahit sebagai inti sebuah struktur imperium yang jelas: masing-masing ‘negara’ itu dipimpin oleh seorang raja (‘kecil’)

Perluasan jelajah pengaruh kewibawaan kerajaan Majapahit yang terjadi kemudian meliputi daerah-daerah “seberang laut” yang disebut dengan istilah “nusa”. Arti kata “seberang laut” itu dalam konteks waktu itu meliputi “tempat-tempat yang (harus) dicapai melalui laut”, karena dalam kategori itu di samping tempat-tempat seperti Butun, Luwu, dan Bima, termasuk juga Surabhaya dan Dmak. Istilah “nusantara” yang kemudian populer berarti “keseluruhan nusa-nusa”.

Pembangunan imperium, baik melalui pemerintah langsung maupun keterikatan pernaungan di bawah satu kewibawaan, yang pada dasarnya adalah suatu upaya politik, dalam pelaksanaanya dapat diharapkan membawa pengaruh ‘pemerataan budaya’ juga. Apa saja substansinya budaya yang ‘dibagikan’ itu merupakan suatu pokok kajian tersendiri yang masih terbuka.

Pengelolaan Masyarakat Multikultural

Prasasti-prasasti tertentu dari Majapahit menyebutkan bahwa di ibukota kerajaan itu tinggal bangsa-bangsa dari ‘luar’ yang disebut dengan nama-nama seperti Kling, Singhala, dan Kmir, yang mengacu pada India Selatan, Srilanka, dan Kamboja. Kenyataan itu menunjukkan bahwa setidaknya di masa itu penduduk ibukota Majapahit mempunyai pergaulan antar bangsa. Jika masing-masing bangsa sedikit atau banyak membawa representasi dari kebudayaan asalnya, maka itu berarti di ibukota Majapahit terbentuk komuniti multikultural. Prasasti-prasasti pun menyiratkan bahwa orang-orang asing itu mempunyai hak-hak yang berbeda, dalam arti lebih terbatas, dibandingkan dengan penduduk setempat.



Toleransi dan Interaksi Agama

Juga diawali di masa Singhasari, ‘pertemuan’ antara agama Hindu Saiwa dan agama Buddha mendapat bentuk-bentuk pengungkapan yang lebih mantap di masa Majapahit. Karya puisi kakawin yang ditulis di masa puncak kejayaan Majapahit, yaitu Sutasoma karya Pu Tantular bahkan merumuskan bahwa ajaran kebenaran tertinggi (dharma) pada ajaran Saiwa maupun Buddha pada dasarnya adalah identik (bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa = meski terpisah sebenarnya satu, tak ada ajaran kebenaran yang mendua).

Di dalam tata pemerintahan pun disediakan pejabat-pejabat negara yang mengurus agama, sesuai dengan sistem kepercayaan masing-masing. Artinya semua disantuni oleh pemerintahan kerajaan. Ada tiga pejabat keagamaan untuk masing-masing sistem kepercayaan: dharmadhyaksa ring kasaiwan untuk agama Hindu Saiwa, dharmadyaksa ring kasogatan untuk agama Buddha, mantri her haji untuk penganut karesyan. Dengan struktur pengelolan seperti itu maka secara tidak langsung masyarakat Majapahit diajak untuk menghayati “toleransi antar-umat”.


Pencapaian di Bidang Seni

Meneruskan keunggulan sastra kakawin yang diawali di masa Kadiri (pra-Singhasari) masa Majapahit pun menghasilkan sejumlah karya unggul yang bertahan hingga melewati tradisi penyalinan naskah yang masih hidup di Bali. Di samping karya-karya kakawin unggul seperti antara lain Arjunawijaya, Kunjarakarna, Siwaratrikalpa, dan Sutasoma yang telah disebut di muka, zaman kejayaan Majapahit juga menghasilkan sebuah kakawin yang unik dari segi isi pesannya, yaitu kakawin Nagarakretagama yang isinya bukan fiksi melainkan catatan mengenai tata pemerintahan, deskripsi kehidupan sosial budaya-religi dalam masyarakat Majapahit, yang dibingkai oleh laporan perjalanan raja Hayam Wuruk berkeliling negaranya.

Dalam seni rupa pun terjadi pematangan gaya penggambaran tokoh-tokoh dalam relief candi: tidak lagi cenderung ‘naturalis’ seperti pada seni arca Jawa Tengah, melainkan tokoh-tokoh tersebut digambarkan serba pipih, menyerupai peraga wayang kulit.


Penataan Lingkungan

Jejak penataan lingkungan di masa Majapahit terdapat pada bekas-bekas kanal, kolam buatan, dan tembok kota. Perhatian pemerintahaan pada manajemen air itu pada awalnya sudah dimulai pada masa-masa yang membangun bendungan-bendungan, dan masa Kadiri ketika pertama dibuat jabatan senapati sarwajala (= pimpinan korps penata perairan).


Kulminasi dari Rintisan-rintisan Sebelumnya

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan kerajaan Majapahit bertumpu di atas pengalaman-pengalaman budaya pada masa-masa sebelumnya (yang rupanya dilakukan dengan penuh kesadaran oleh para pemimpin Majapahit), namun lalu disertai dengan suatu rencana pembangunan yang integratif, menangani berbagai sektor kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengalaman Majapahit itu sebaliknya disikapi sebagai pengalaman bersama bangsa Indonesia, untuk mengambil keutamaan-keutamaannya sebagai ilham dalam menghadapi tugas-tugas pembangunan bangsa dan negara di masa kini.

"Magical Template" designed by Blogger Buster